Monday, July 31, 2006

16 Rules by Go Daddy CEO and founder Bob Parsons

Browsing on net and I found was interesting for me.

Here are the 16 rules Bob Parsons try to live by:

1. Get and stay out of your comfort zone. I believe that not much happens of any significance when we're in our comfort zone. I hear people say, "But I'm concerned about security." My response to that is simple: "Security is for cadavers."

2. Never give up. Almost nothing works the first time it's attempted. Just because what you're doing does not seem to be working, doesn't mean it won't work. It just means that it might not work the way you're doing it. If it was easy, everyone would be doing it, and you wouldn't have an opportunity.

3. When you're ready to quit, you're closer than you think.
There's an old Chinese saying that I just love, and I believe it is so true. It goes like this: "The temptation to quit will be greatest just before you are about to succeed."

4. With regard to whatever worries you, not only accept the worst thing that could happen, but make it a point to quantify what the worst thing could be. Very seldom will the worst consequence be anywhere near as bad as a cloud of "undefined consequences." My father would tell me early on, when I was struggling and losing my shirt trying to get Parsons Technology going, "Well, Robert, if it doesn't work, they can't eat you."

5. Focus on what you want to have happen. Remember that old saying, "As you think, so shall you be."

6. Take things a day at a time. No matter how difficult your situation is, you can get through it if you don't look too far into the future, and focus on the present moment. You can get through anything one day at a time.

7. Always be moving forward. Never stop investing. Never stop improving. Never stop doing something new. The moment you stop improving your organization, it starts to die. Make it your goal to be better each and every day, in some small way. Remember the Japanese concept of Kaizen. Small daily improvements eventually result in huge advantages.

8. Be quick to decide. Remember what General George S. Patton said: "A good plan violently executed today is far and away better than a perfect plan tomorrow."

9. Measure everything of significance. I swear this is true. Anything that is measured and watched, improves.

10. Anything that is not managed will deteriorate. If you want to uncover problems you don't know about, take a few moments and look closely at the areas you haven't examined for a while. I guarantee you problems will be there.

11. Pay attention to your competitors, but pay more attention to what you're doing.
When you look at your competitors, remember that everything looks perfect at a distance. Even the planet Earth, if you get far enough into space, looks like a peaceful place.

12. Never let anybody push you around. In our society, with our laws and even playing field, you have just as much right to what you're doing as anyone else, provided that what you're doing is legal.

13. Never expect life to be fair.
Life isn't fair. You make your own breaks. You'll be doing good if the only meaning fair has to you, is something that you pay when you get on a bus (i.e., fare).

14. Solve your own problems.
You'll find that by coming up with your own solutions, you'll develop a competitive edge. Masura Ibuka, the co-founder of SONY, said it best: "You never succeed in technology, business, or anything by following the others." There's also an old Asian saying that I remind myself of frequently. It goes like this: "A wise man keeps his own counsel."

15. Don't take yourself too seriously. Lighten up. Often, at least half of what we accomplish is due to luck. None of us are in control as much as we like to think we are.

16. There's always a reason to smile. Find it. After all, you're really lucky just to be alive. Life is short. More and more, I agree with my little brother. He always reminds me: "We're not here for a long time; we're here for a good time."

A special word of thanks.
I owe a special thanks to Brian Dunn. When I first wrote these rules down and was thinking about compiling them into a book — that book, like most books I suppose, has been half-done for a while :); — Brian read them and suggested a title. His suggestion was, "They Can't Eat You." I like Brian's suggestion for two reasons: 1. It reminds me of my Dad. I sure miss him; and 2. It's true. No matter how difficult things get, you're going to be OK. It's very important to realize that. Thanks, Brian.

Copyright © 2004-2006 by Bob Parsons. All rights reserved

Hot Points – A blog by Go Daddy CEO and founder Bob Parsons

Tuesday, July 18, 2006

Pilih Nyogok atau Tidak Nyogok?

Senin, 17 Juli 2006,
Oleh
Dahlan Iskan

Nyogok tapi dapat kepastian, tidak nyogok tapi tidak dapat kepastian, pilih mana? Itulah pertanyaan yang saya ajukan kepada banyak pengusaha belakangan ini. Tentu setelah mendengar keluh kesah mengenai lesunya perekonomian sejak dua tahun lalu. Kini banyak pengusaha memang takut nyogok. Ini seiring dengan semakin gencarnya usaha pemberantasan korupsi di kalangan pejabat pemerintah.

Akibatnya, banyak pejabat yang ragu-ragu atau pura-pura ragu-ragu, sehingga segala proses yang mestinya bisa cepat menjadi lebih lambat.

Apa jawaban mereka? Umumnya para pengusaha mengatakan lebih baik nyogok tapi ada kepastian. Bisnis memerlukan kepastian. Mulai perencanaan, penyiapan keuangan sampai ke komitmen kepada pembeli. Baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Katakanlah sekarang tidak perlu nyogok. Tapi, proses keputusan yang diperlukan amat lama. Maka, kalau dihitung, mungkin lebih hemat menyogok. Sebab, dengan tertunda-tundanya investasi, biaya uang menjadi lebih mahal. Baik uang sendiri maupun uang pinjaman. Belum lagi kalau di tengah proses yang panjang itu terjadi gejolak harga-harga. Maka, seluruh perencanaan menjadi berantakan. Perusahaan yang semula direncanakan bisa laba menjadi rugi. Nilai kerugiannya bisa jadi lebih besar daripada nilai seandainya harus menyogok.

Bahkan lebih buruk, masih ada perusahaan yang sudah mengeluarkan uang ekstra, tapi tetap juga tidak ada kepastian. Maka, dia ibarat orang pingsan yang masih dipukuli: matilah!

Kepastian adalah kata kunci bisnis. Soal yang lain-lain menjadi nomor buntutnya. Katakanlah soal upah buruh atau uang-uang sumbangan. Bukanlah yang terpenting. Dalam hal buruh, yang penting ada kepastian apakah kalau upahnya naik mereka bisa lebih produktif. Apakah ada kepastian tidak akan mogok dan demo.

Saya jadi ingat guyonan Pak Basofi Sudirman ketika masih jadi gubernur Jatim. Waktu itu toleransi terhadap uang sampingan masih besar. Tapi, beliau sudah mengatakan, "Pejabat itu untuk mendapat uang tambahan bisa dengan dua cara". Pertama, menyenangkan pengusaha dalam pengertian pelayanannya baik, cepat, dan pasti. Lantas pengusahanya secara suka rela akan berterima kasih. Tidak usah diminta pun, tidak ada orang Indonesia yang tidak tahu berterima kasih.

Yang kedua, dengan cara menyulitkan pengusaha. Artinya, bikin saja sulit. Nanti mereka akan datang minta dipermudah. Tentu pakai uang. Nah, mana yang baik? Bagi pengusaha, yang pertamalah yang baik.

Kepastian adalah kelemahan pokok di bidang komitmen pemerintah kepada dunia usaha. Maka, kalau ekonomi seret selama ini, itulah sebabnya. Sebenarnya, sayang sekali. Banyak momentum yang lewat. Sekarang ini misalnya, banyak sekali perubahan sistem di Tiongkok yang bisa dimanfaatkan. Saya yang sekarang masih di Tiongkok, mencatat banyak perubahan kebijaksanaan belakangan ini. Semua perubahan itu mengarah ke semakin ketatnya peraturan, di bidang apa pun. Mulai keuangan sampai ke soal pembuangan sampah. Kemudahan-kemudahan yang dulu jadi keunggulannya mulai pelan-pelan dikurangi.

Termasuk upah buruh. Di Provinsi Guangdong, misalnya, mulai September nanti diberlakukan UMR baru yang sangat tinggi. Naik hampir 17,8 persen. Menjadi sekitar Rp 850 ribu (780 yuan) untuk kota Guangzhou. Kota-kota lain di provinsi itu bervariasi antara 690 yuan (Zhuhai, Foshan, Dongguan) sampai 810 yuan (Shenzhen).

Daerah-daerah lain pun akan menyusul naik. Dan, itu berarti upah buruh yang rendah bukan lagi senjata utama di Tiongkok. Hanya, produktivitas buruhnya memang sangat tinggi, sehingga jatuhnya mungkin masih lebih murah dibanding di Indonesia. Satu pekerjaan, misalnya, bisa diselesaikan seorang buruh saja di Tiongkok. Tapi, kalau pekerjaan yang sama dikerjakan buruh di Indonesia memerlukan dua buruh. Itu perbandingan rata-rata. Tentu ada juga pengecualian di sana-sini. Ada juga buruh di Indonesia yang lebih produktif.

Memang, akhirnya hukum pasar yang menentukan. Seperti Provinsi Guangdong tadi. Kalau tidak menaikkan UMR, provinsi itu akan kekurangan tenaga kerja. Sebab, sektor pertanian, dengan berbagai insentif pemerintah, kini juga cukup menarik pagi orang-orang desa. Padahal, Provinsi Guangdong memerlukan sekitar 23 juta tenaga kerja dari luar provinsi itu. Kalau UMR kurang menarik, mereka bisa tetap berada di desa atau ke provinsi lain yang lebih menarik. Misalnya Jiangshu atau Zhejiang.

Dengan UMR baru, tapi juga dengan kepastian tidak akan adanya pemogokan dan tidak ada penolakan untuk kerja lembur, tetap saja Tiongkok akan lebih menarik untuk investasi.

Jadi, kapan kita tidak nyogok tapi dapat kepastian?
Atau kembali harus nyogok agar dapat kepastian?
Sampai kapan pengusaha harus menunggu?

***** Tambahan ****
kalo saya rasa sih di indonesia harus ditetapkan sytem terpusat di masing2 provinsi, dan untuk semua biaya itu lebih baik di tetapkan secara jelas. jadi misalnya kalo orang perlu di process dalam 1 hari itu biayanya jauh lebih mahal dari pada yg 3 hari atau sebulan.

Dengan begitu semua kegiatan bisa di monitor, dan dapat mengurangi jumlah pejabat yg berbuat korupsi.

***********************


Disadur dari;
|| Jawa Pos dotcom ||